Jumat, 23 April 2010

DINDA DAN DINA

Di suatu hari aku mencoba melamar pekerjaan, bukan sebuah perusahaan, dan bukan juga melamar sebagai pegawai kantoran. Aku melamar sebagai seorang guru, yang dianggap sebagian orang guru adalah 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'. Tapi kata-kata itu aku pernah dengan dari seorang guruku. Dia berkata kepada ku Gelar 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' untuk guru tidak pantas diberikan karena maknanya sangat berbeda, kok pahlawan 'tanpa' tanda jasa. Berarti guru selama ini tidak ada jasanya dunk. Itu anggapan guru ku, guru bahasa indonesia ku sewaktu aku masih sekolah SLTP dulu.

Tapi waktu bergulir dengan cepat. Dan perkataan itu pun tidak pernah aku ingat-ingat lagi. Itu sudah lama. Dan sekarang ini aku ingin menjadi seorang guru yang selalu senantiasa memperjuangkan pendidikan untuk anak-anak.

Pagi menjelang aku pun segera siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Melanjutkan aktivitas ku yang baru yang akan aku jalani sekarang yaitu mendidik anak-anak untuk menjadi orang yang berpendidikan tinggi dan berakhlak mulia.

"Selamat pagi, bu Dina." sapa murid ku dari seberang sana.
"Selamat pagi, Dinda." tegur ku kembali. "Dinda diantar sama mama dan papa yaa?" tanyaku
"Dinda nggak diantar sama mama dan papa bu, tapi dinda diantar sama pak karim." kata dinda sambil matanya mulai berkaca-kaca

"Dinda nggak kenapa-kenapa kan sayang". tanyaku mulai berhati-hati karena takut menyakiti perasaan halusnya.
Pak karim adalah supir keluarga dinda. Papa dan mama Dinda selalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka sampai-sampai dinda anak nya pun harus pak supir yang mengantarnya.

"Dinda nggak kenapa-kenapa bu. Dinda mau masuk kekelas dulu ya bu" kata Dinda sambil berlalu meninggalkan ku seorang diri.

Masih dalam posisi berdiri aku melihat Dinda masuk kedalam sebuah ruangan kelas.

Dinda adalah seorang anak yang tegar, seorang anak yang mandiri. Dia mengerti kalau orangtua nya bekerja untuk dia. Dinda tidak punya saudara, dia anak tunggal. Rumahnya yang besar hanya ditempati oleh mereka berlima, yaitu Papa dinda, Mama dinda, Dinda, Bi inah pembantu mereka, dan Pak karim supir keluarga mereka yang senantiasa mengantar dinda pulang pergi ke sekolah.

Di sekolah dinda seorang anak yang pendiam, jarang dinda berteman dengan teman sekelasnya. Entah kenapa aku selalu tau banyak tentang pribadi Dinda. Mungkin karena dinda anak yang berbeda dengan anak kebanyakan lainnya, sehingga membuat aku penasaran untuk tau dengan kepribadiannya.

***

"Selamat pagi anak-anak. Hari ini adalah hari ibu. Siapa yang sudah mengucapkan selamat hari ibu buat ibunya? Hayoo tunjuk tangan" kata ku kepada anak-anak.

semua anak-anak saling berteriak sambil mengacungkan jari-jari tangan mereka yang masih kecil. Kecuali Dinda, anak itu selalu diam. Tidak banyak bercerita seperti temannya yang lain. Tidak selalu senang, cuek dengan teman dan keadaan sekitarnya.

Tapi aku tahu pasti dengan keadaan anak itu. Dia pasti merindukan ibunya sekarang yang bekerja di luar kota, yang hanya sebulan sekali pulang lalu pergi lagi.

Aku mencoba mendekati anak itu, Tapi anak itu selalu menolak kalau mencoba mendekatinya.

"Dinda kenapa sayang? kok sedih gitu" tanyaku kepadanya sambil memegang tangan mulus kecilnya.
"Dinda nggak kenapa-kenapa kok bu. Dinda cuma kangen sama mama. Bu Dina mama dinda kapan yaa pulang?" Tanya dinda kepadaku
"Sabar ya sayang mama dinda pasti pulang. Mama dinda pasti juga kangen sama dinda." kataku sambil menangkan dinda agar tidak berkelanjutan sedihnya
"Dinda sayang sama mama, bu. Sayang banget. Tapi kenapa yaa bu mama kok nggak pernah pulang. Bahkan mama dan papa jarang sekali pulang ke rumah." rintih dinda sambil memelukku dengan hangat
"hm, mungkin mama lagi sibuk sayang, jadi mama jarang pulang. Kan mama cari uang buat dinda juga." kataku sambil menghibur dinda agar dinda tidak merasakan sedih yang dalam.

Kisah dinda kecil hampir mirip dengan dina kecil pada 13 tahun yang lalu dimana aku masih berumur 9 tahun. Aku merindukan kasih sayang seorang ibu yang tak kunjung datang menemaniku disaat aku berulang tahun. Ibu yang selalu aku nantikan, dimana aku butuh kasih sayang darinya. Ibu yang selalu aku harapkan kehadirannya disaat aku dimusuhi oleh teman-teman sekolah ku semasa aku sd dulu. Ibu yang selalu aku ingin ajak curhat tentang masalah perempuan. Ibu yang selalu aku inginkan. Tapi sekarang dia tidak disini. Dia sedang berada di dunia yang berbeda dengan diriku. Yah, ibu ku sudah lama meninggal dunia. Ayah ku mencari perempuan lain dan meninggalkan ibuku.

Aku diangkat anak oleh saudara ibu ku. Tapi kehidupan Dinda kecil sungguh sangat berbeda dengan kehidupan Dina kecil dulu. Dinda kecil bergelimangan harta, sedangkan Dina kecil bisa makan dan sekolah saja sudah syukur alhamdulillah.

Lambat laun Dina tumbuh menjadi gadis yang keras, akibat didikan bibinya. Adik dari ibunya, yang selalu merawat dirinya. Bibi tidak punya anak, sehingga dia mengangkat diriku menjadi anak angkatnya.

Aku harus bisa membalas budi kebaikan bibi. Dia selalu merawat diriku, menggantikan peran ibu sebagai ibuku. Bibi sangat sayang kepadaku, kasih sayang nya dia limpahkan ke aku. Sehingga aku tidak pernah haus akan kasih sayang dari seorang ibu. Akan tetapi bibi sangatlah keras orang nya. Dia melarang ku untuk keluar kemana saja kalau tidak keluar dengan bibi. Tapi aku sangat sayang dengannya.

***

Waktu pun berlalu. Dan aku sekarang menjadi seorang guru. Guru yang memberikan ilmu kepada murid-murid nya. Guru yang menjadi pengganti orangtua bagi murid-muridnya, serta guru yang selalu menyayangi anak-anak murid nya. Aku selalu dapat merasakan bagaimana kalau seorang anak kecil seusia mereka ditinggal oleh orangtua nya untuk bekerja. Terkadang meninggalkan disini sangat berbeda dengan meninggalkan untuk selama-lamanya.

Terkadang dalam pikiran ku, aku ingin mengasuh dinda sebagai anak angkat ku. Tapi kenyataannya tidak mungkin. Aku saja belum menikah, Bagaimana bisa aku dapat mengangkat seorang anak menjadi anak ku. Memang tidak ada peraturan, tapi apa kata orang-orang. Tidak mungkin Aku menjadi Siti Maryam di zaman seperti sekarang ini.

Pernah aku sempat mengatakan hal ini kepada Dinda, agar dia mau menjadi anak angkatku. Dinda senang karena dia tidak akan kesepian lagi.

"Bu Dina, dinda mau kalau ibu yang jadi mama dinda. Dinda senang, habis nya ibu selalu sayang sama dinda sih." kata dinda
Kalau sudah mendengar celoteh anak kecil ini aku selalu senang. Entah kenapa kalau menyangkut tentang ibunya dia selalu sedih dan terus merenung diri.
"Iya sayang, tapi ibu harus minta ijin sama mama dinda dulu ya. Nanti mama dinda marah lagi sama bu dina." kataku sambil senyum kepadanya
"Iya bu. nanti dinda bilang sama mama, kalau dinda mau tinggal sama bu dina aja." katanya sambil senyum-senyum.

Hari dimana itu pun tiba aku memberanikan diri untuk meminta ijin kepada mama nya dinda, agar dinda tinggal bersama ku Selama mamanya dinda berpergian keluar kota untuk bekerja. Ternyata tanpa disangka mama dinda justru senang kalau dinda ada yang mengasuh nya. Aku sangat heran ibu macam apa mama dinda ini, anak nya bersama orang lain ingin diasuh, eh kok malah senang. Tapi ya sudah lah toh percuma juga kan kalau dinda selalu merasakan kesepian kalau mama nya pergi keluar kota demia sebuah tugas katanya.

Dinda sangat senang tinggal bersama ku. Bibi pun senang mendapatkan sebuah boneka baru yang lucu dan imut. Dirumah kami sangat senang dan bahagia. Biar hidup pas-pas an asal tidak mengganggu kehidupan orang lain. Kami sudah puas dengan kehidupan sekarang ini.

Kemanapun kami pergi dinda tak lupa kami bawa. Agar dia kerasan tinggal bersamaku. Tapi kebahagiaan itu tak cukup lama. Karena Dinda harus masuk rumah sakit. aku tidak tahu sakit apa dia. Yang aku tahu dinda batuk dan mengeluarkan darah begitu banyak. Aku bawa dia kerumah sakit dan aku hubungi mama dan papa nya dinda.

Setelah aku bawa dinda ke rumah sakit, baru aku tahu ternyata dinda terkena kanker darah yang umurnya tidak akan lama lagi menurut perhitungan dokter. Aku begitu sedih mendengar pengakuannya. Dinda gadis kecil yang kurang kasih sayang itu harus tergolek lemah di tempat tidur rumah sakit, yang semuanya berbau obat.

"Dinda sayang, mana sayang sakit... "Kata ku sambil memegang tangannya dengan lembut.
"Kepala dinda sakit bu. Kok dinda ada di rumah sakit bu? mama dan papa dinda mmana bu?" kata dinda
"Mama dan papa bentar lagi datang kok sayang". kataku menghibur hati dinda agar tidak sedih.
"Papa dan mama mana mmau datang bu, papa dan mama kan selalu sibuk bu. Pasti papa dan mama lagi sibuk kerja. Iya kan bu." Kata dinda sambil mengeluarkan airmata nya
"Dinda, sssttt.... dinda jangan banyak bicara dulu ya sayang. Dinda kan lagi sakit." kataku menengkan hatinya

Setelah dinda tertidur lelap akibat obat tidur yang diberikan oleh suster. Aku mencoba menghubungi mama dan papanya dinda. Tapi diangkat pun tidak. Aku nggak tau apa yang harus aku lakukan. Jalan satu-satunya aku harus mencari alamat kantor nya mama dan papanya dinda.

Setelah dapat alamat kantor papa dan mamanya dinda aku terus mendatanginya. Dalam hati berpikir kenapa sih mereka tidak perduli dengan dinda disaat dinda membutuhkan kasih sayang mereka.

Setelah bertanya kesana-kemari akhirnya kantor papa dan mama nya aku temukan. Aku menemui papa nya untuk memberitahu keadaan dinda sebenarnya. Ternyata papanya dinda cuek, laki-laki itu hanya mementingkan pekerjaannya dibandingkan anak nya yang terbaring di rumah sakit. Apakah tidak ada perasaan sedikitpun laki-laki ini melihat anak nya terbaring sakit? otakku terus berpikir.

"Pak, anda adalah papanya dinda. Dan Dinda adalah anak anda. Apakah anda tidak punya hati sedikitpun, Dinda itu terbaring sakit dirumah sakit. Dan dia mengidap penyakit kanker darah." kataku memberitahukannya
"Alah.. bentar lagi juga sembuhnya. Nanti saya kesana, kalau urusan saya sudah selesai."Kata papanya dinda acuh tak acuh
"Apakah anda tidak kasihan dengan putri kandung anda sendiri?, Mana lebih penting urusan pekerjaan anda dengan Nyawa anak anda sendiri pak?" Geramku memberitahukan laki-laki ini.
"Kamu tahu apa tentang urusanku! hey, kamu guru sekolahnya dinda kan? kan kamu yang meminta mamanya dinda untuk menjaga dinda kan? Seharusnya kamu yang jaga baik-baik dinda! Nanti kalau sudah parah penyakit dinda baru kamu kasih tau ke saya, Biar saya berikan dokter yang hebat untuk mengobati dinda." katanya sambil cuek
"Dinda tidak butuh seorang dokter! Ingat itu pak, Yang dinda butuhkan sekarang adalah kasih sayang dari papa dan mamanya! Tidakkah kalian punya hati nurani kalian sedikitpun! Dinda itu kan anak kalian berdua!" kataku sambil marah
"Udahlah sana kamu pergi kamu jaga sana dinda. Nanti kalau ada apa-apa dengan dinda kamu hubungi saya. Biar saya yang bayar semua biaya rumah sakitnya. Maaf bu saya lagi sibuk." kata papa dinda sambil berlalu meninggalkan kantornya.

Dengan perasaan sedih bercampur geram aku pun berlalu. Setelah penolakan dari papanya dinda, mamanya dinda pun menolak untuk bertemu dengan dinda. Alasannya selalu sama, sibuk dengan pekerjaan. Ya Tuhan, betapa sedihnya dinda kecilku. Kejadian ini tidak mungkin aku katakan kepadanya. Akan menambah beban dihatinya sehingga membuatnya sedih berkepanjangan.

***

Bau rumah sakit, entah kenapa aku selalu benci bau ini. Bau ini mengingatkan ku dimana ibu menghembuskan nafasnya terakhir. Dan meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Dinda kecilku tidak boleh pergi. Dinda kecilku harus bertahan demi hidup. Seperti Dina kecil yang hidup tanpa kasih sayang keduaorangtua yang lengkap. Yang selalu mendapatkannya dari seorang bibi, yang tak pernah lepas dari hidupnya.

Penyakit dinda semakin hari semakin mengkhawatirkan. Aku nggak tega kalau harus melihat dinda batuk dan banyak mengeluarkan darah. Tubuhnya semakin lama semakin kurus. Wajahnya yang butuh kasih sayang itu. Aku nggak tega melihatnya.

Sampai pada suatu hari, Dinda kecilku meninggalkan aku dan bibi untuk selama-lamanya. Dinda kecilku tidak bisa hidup bertahan lama. Ternyata Allah lebih menyayangi Dinda kecilku, dibandingkan keduaorangtuanya sendiripun. Betapa jahatnya mereka. Tidak ada punya perasaan hati dan nuraninya sedikitpun. Entah kemana kasih sayang mereka. Seakan mereka tidak mau disibukkan dengan sakitnya dinda. Padahal dinda adalah anak mereka satu-satunya.

Dinda kecilku, aku ikhlas kalau engkau meninggalkan kami semua. Engkau hidup di tempat peristirahatan mu yang terakhir. Aku berharap engkau mendapatkan kasih sayang yang berlimpah disana, Semoga. Dan aku pun menjalani kehidupan ku seperti apa adanya sekarang.

Sabtu, 17 April 2010

Mutiara Sebuah Pernikahan

Pernikahan merupakan bukti kekuasaan Allah yang maha mulia...
yang akan menimbulkan Al'Athifah (Jalinan perasaan)
Pernikahan akan menyingkap tabir rahasia
bahwa istri yang dinikahi tidak seindah yang dibayangkan...

Istrimu bukanlah ...
semulia Khadijah, setaqwaAisyah, setabah halimah
secantik Zulaikha...
Istrimu adalah istri akhir zaman yang menjadi
sandaran dikala senang, penyejuk dikala susah
dan yang akan melahirkan keturunan yang shaleh
pernikahan menyadari kita bahwa memiliki
suami tidak sehebat yang diharapkan...

suamimu bukanlah...
searif Abu Bakar Siddiq,
seberani Umar Bin Khattab, sekaya Usman bin Affan
segagah Ali Bin Abi Thalib
Suamimu adalah suami akhir zaman yang akan membimbing
kepada jalan Allah senantiasa berikhtiar dan memberi safa'at kepadamu....


(Mutiara pernikahan ini aku persembahkan khusus buat Abang ku
Gusman fauzi & Nur'aini...
yang menikah pada hari Rabu, 14 April 2010)

 
Blogger Templates by Wishafriend.com